Profil Petani Kita

Petani, Pekerjaan Paling Hebat Yang diwajahnya Selalu tersimpul Ikhlas
Oleh: Indah Yuliati

            Bekerja di kantor dengan laptop sebagai alat kerjanya ditambah dengan ruangan kerja yang nyaman, luas, ber AC, gajinya besar lagi, siapa sih yang gak mau. Zona serba wow tersebut menjadikan sebagian besar masyarakat mengejar pekerjaan tersebut. Anak-anak disekolahkan tinggi dan dibidik oleh orangtuanya agar menempati kedudukan tersebut, Bahkan anak petani tak kenal cangkul karena telah difokuskan dalam lingkup mata pencaharian itu. Kalaupun tak dapat menembus pekerjaan di kantoran, menjadi wiraswasta sebagai pekerja di pabrik adalah pilihan keduannya. Kenapa? Selain kerjanya gak seberat petani, gajinya juga UMR lagi. Kalaupun tak tembus sebagai pegawai pabrik pilihan terakhirnya adalah berjualan, yang katanya lagi-lagi lebih ringan dari pekerjaan petani. Lantas siapa yang akan bertani?
            Pekerjaan petani adalah pekerjaan paling berjasa dalam kehidupan namun sering dilupakan oleh masyarakat. Bahkan pekerjaan itu sekarang dianggap pekerjaan yang kotor, keras dan hasilnya sedikit. Coba bayangkan saja jika semua orang berpendapat seperti itu, mau makan apa jika semua orang bekerja di kantor? Mau makan rotikah? Bagaimana jika gandum tidak ada yang menanam? Mau makan sosiskah atau daging? Bagaimana kalau pakan ternaknya saja tidak ada, matilah ternak-ternak sebagai bahan baku sosis itu. Jadi, hapuskan pikiran itu.
            Pertanian di Indonesia kini banyak dikerjakan oleh orang yang usianya rata-rata diatas 50 tahun. Fantastic, pekerjaan itu terlalu berat seharusnya untuk dikerjakan seseorang dengan usia dengan kisaran itu. Lantas pemudanya tak kenal cangkul, siapa yang akan bertani menanam pangan untuk negeri kedepannya?. Tak perlu dijawab, petani kita hebat. Semakin kedalam terbesit dipikiranku, sebisa itukah mereka ikhlas menanam tanaman pangan itu, berangkat pagi, berkotor-kotoran, mengkasarkan tangan lalu tersengat teriknya matahari siang, kemudian pulang saat ayam mulai merabun. Pemandangan yang sangat menyentuh pengamatanku, bahkan sampai memotivasiku untuk semakin semangat mempelajari bidang mereka.
            Yang membuatku lebih naik pitam lagi adalah hasil panen petani yang dijadikan mainan oleh tengkulak-tengkulak nakal. Harga hasil panen akan sangat turun saat panen raya dan akan dinaikkan drastis pada saat tidak ada panenan, jahat. Belum lagi rantai penjualan dari petani ke konsumen yang terlalu panjang yang menyebabkan harga dari petani murah dan sampai ke konsumen dengan harga tinggi. Petani yang bekerja, yang menikmati hasilnya adalah penyalur-penyalur berduit yang licik. Dari situ dapat kita ketahui mengapa kebanyakan petani kita hidupnya pas-pasan bahkan ada yang kurang.
            Suatu sore dalam perjalanan di dalam kereta. Saya melihat dua orang petani yang masih saja mencangkul meski gelap sudah mulai datang. Pakaiannya berlumur lumpur dan badannya kurus, aku tahu mereka kecapean. Sebagai mahasiswa pertanian aku tak henti-henti memandanginya hingga terlampaui sudah oleh kecepatan kereta sore itu. Hatiku mengertak, lagi-lagi kerja mereka tak sebanding dengan hasilnya. Kuingat kembali saat berkunjung ke pasar, ada petani-petani yang menjual langsung sayuran hasil panennya di pasar, betapa kebanyakan ibu-ibu yang berkunjung menawar harga hingga titik terendah. Dengan wajah yang lesu, petani tersebut memberikan persetujuan meski dengan harga yang tak sebanding dengan jerih payahnya merawat hingga panen. Untuk para ibu yang suka ke pasar, janganlah menawar yang terlalu rendah, setidaknya kita harus mampu menghargai betapa susah menanam hingga proses panen. Itu semua tak sebanding dengan rupiah yang kita berikan.
            Sebagai generasi muda yang peduli dengan ketahanan pangan dalam negeri, kita harus mempunyai cita-cita besar untuk memajukan dan mensejahterakan pertanian di Indonesia. Memang untuk saat ini kita masih mampu menikmati enaknya bulir-bulir nasi, snack-snack berbahan dasar jagung, pop corn, dan lain sebagainya. Tapi ingat, itu hanya pikiran jangka pendek, coba berpikir untuk jangka panjangnya. Dimana suatu saat, petani mulai lelah dan menjual tanahnya, pabrik-pabrik semakin pesat dibangun bak jamur di musim hujan. Mau makan apa kita? dapatkah anak cucu kita merasakan makanan yang pernah ada di zaman kita? Well.. kembali lagi bagaimana kita berpikir.
            Sebenarnya tidak seburuk itu keadaan pertanian kita saat ini, sejauh ini masih dapat digolongkan cukup baik. Kitapun kalau mau juga dapat memanfaatkan lahan di pekarangan kita untuk menanam cabai, tomat, sayuran bahkan tanaman toga. Dan menanam itu tidak mahal kok, selain itu juga mudah, kita hanya perlu merawatnya seperti anak sendiri, ahaha. Yang lebih menyenangkan lagi, berbuahnya tanaman itu bisa menimbulkan kepuasan sendiri terhadap yang menanamnya. So, let’s to try.
            Lebih bahagianya lagi ketika melihat makin cerdasnya petani kita, dimana ada kelompok-kelompok tani yang saling bekerja sama dari tanam sampai pemasaran, bahkan bisa memutus rantai penjualan hingga hanya tersisa rantai dari petani ke konsumen. Wow…semoga bisa menjangkau petani-petani di pelosok desa yang kekurangan informasi dan terkadang sering menjadi korban kejahatan tengkulak nakal. Wah..tak patut di contoh guys.
            Tulisan saya diatas adalah bentuk gertakan hati yang terkadang berteriak tidak adil. Betapa petani desa yang tak kenal lelah harus menerima hasil yang tidak sebanding. Sebuah mimpi besar harus kita bangun guys untuk target agent of change kita. Semoga bermanfaat dan dapat membuka mata hati kita atas hal yang biasanya kita anggap sepele ini. Please…ini bukan sepele lagi. Karena ini pula, saya yang biasanya acuh tentang masalah negeri, kini mulai peduli. Semangat belajar guys, Indonesia menunggu realisasi ilmu yang kita pelajari.

Komentar

Postingan Populer