Setahun di Bali, Bagaimana rasanya?
23 Oktober tahun 2019 lalu aku pertama kali menginjakkan kakiku di Pulau Dewata Bali. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya aku akan menginjakkan kaki di Pulau yang dijuluki surga dunia ini. Bukan sehari dua hari aku menetap di Pulau ini, tapi hari ini 24 Oktober 2020, setahun sudah aku berada disini. Tentu saja, aku disini bukan untuk berlibur, tetapi ada sebuah pekerjaan yang membuatku harus menetap untuk waktu cukup lama. Banyak kesan yang sudah terlukis semenjak aku berada di tempat ini. Mulai dari disambut upacara-upacara adat sewaktu mobil yang membawaku ke tempat kerja melewati pura-pura, bertemu dengan banyak orang baru, bau dupa dimana-mana, sesajian, buah-buah yang tersusun menjulang, masyarakatnya yang friendly dan masih banyak lagi.
Sekalinya di
Bali, proyek pekerjaanku bukan di sebuah kota yang cukup terkenal seperti
Denpasar yang terkenal dengan pantai kuta-nya. Aku bertugas di kota Singaraja
tepatnya di Desa Sawan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Desa ini sangat asri
dengan geografi daerah pegunungan. Jadi setiap hari aku merasakan sejuk atau
lebih ke dinginnya daerah pegunungan. Malam hari ketika aku sampai di kantor
tempatku bekerja, untuk sementara aku tidur di mess bersama tapi disediakan
satu kamar cukup besar khusus buat aku. By the way, perusahaan tempatku bekerja
adalah sebuah perusahaan kontraktor swasta, yang sekarang sedang menanggani
Proyek Bendungan di Desa ini. Kontrak kerjanya cukup lama, karena mengharuskan
aku disini sekitar 3 tahunan. Tak ayal jika rekan-rekan kerjaku disini cowok
semua. Dan ini merupakan pekerjaan pertamaku pasca lulus kuliah pada 29 September
2019.
Keesokan harinya, aku bertemu dengan seorang ibu yang menawariku sebuah kamar kost dengan kamar mandi didalam (begitu penawarannya, hehe). Ibu ini bercerita kalau dirinya adalah seorang mualaf, suaminya adalah seorang muslim berdarah Madura, rumahnya di Blega, Bangkalan. Nah, disini aku benar-benar merasakan bahwa alur Tuhan itu tersusun sangat rapi dan apik. Dulu aku kuliah di Madura, tepatnya di Kamal, Bangkalan. Jaraknya ke Blega juga tidak terlalu jauh, dan saat tersesat di Bali, aku diterima lagi dikeluarga berdarah Madura. Syukur Alhamdulillah batinku, karena mungkin aku tidak perlu lagi berkeringat dingin sebab di ‘Gonggongin’ sama anjing yang ada disetiap rumah. Akhirnya fix, tanggal 24 Oktober 2019, aku mulai menempati satu kotak kamar berasa villa beserta kamar mandi dalamnya itu, whahaha ada-ada saja.
Yasinan tiap Malam Jumat bergilir di rumah kerabat Ibu kos secara tertutup |
Tentang ibu dan
bapak yang menerima aku di rumahnya, mereka adalah keluarga muslim satu-satunya
di Desa ini. Kira-kira ada 5 KK, terdiri dari 4 rumah dan merupakan keluarga
dari bapak dan ibu kosku. Beliau telah menganggap aku sebagai anaknya. Bahkan
setiap Malam Jumat sebelum adanya wabah Covid-19, aku sering nimbrung yasinan
bergilir di rumah-rumah keluarga besar beliau. Tentu saja, juga untuk menghibur
diri dan mengobati rindu pada lantunan kalam Tuhan. Dan selama disini, tentu
saja adzan jarang kudengarkan, bahkan tidak pernah kalau tidak ke kota yang
jaraknya cukup jauh dari Desa ini. Dengar adzan dari aplikasi muslim pro saja
terasa nikmat yang luarbiasa.
Anak-anak yang berangkat kesekolah menggunakan baju adat (tiap hari tertentu) |
Karena aku tipe orang yang ‘Grapyak’ alias suka sok akrab dengan orang-orang sekitar. Lambat laun aku jadi mengenal anak-anak dan menantu ibu kos, keluarga ibu kos, Mbok Ndut yang punya toko pinggir jalan, Mbok Komang yang seorang dosen hukum di Universitas di Singaraja, Kak Ina yang jualan sate ayam, Bu Fat yang jualan nasi campur, Ibu-ibu langganan kalau aku belanja di pasar dan masih banyak lagi. Bali ini sudah seperti rumah kedua bagiku, kalau aku cuti pasti orang-orang sekitar selalu memberiku oleh-oleh. Yang sederhana lagi, tiap mereka pulang sembahyang, pasti aku diberinya buah-buahan dan aku disuruh mengambil sendiri dari susunan itu manapun yang aku mau.
Persembahan menari di pura biasanya pada sembahyang malam bulan purnama |
Pulau ini memiliki toleransi yang tinggi antar umat beragama. Aku sebagai minoritas dengan identitas jilbab yang kukenakan tidak membuatku dikucilkan. Bahkan kita sering bertukar informasi dan pengetahuan tentang agama masing-masing. Sudah biasa tiap subuh suara menggajiku bersahut-sahutan dengan puji-pujian di pura. Bahkan suatu ketika di ruang kerja, aku tidak sengaja memutar syair abu nawas bahasa arab dengan volume yang kekerasan, yang intinya dalam bahasa Indonesia “Tuhan aku tidak kuat berada di NerakaMu, tapi aku juga tidak pantas bila berada di SurgaMu”, cepat-cepat aku kecilkan volumenya dan minta maaf ke Mbok yang bersih-bersih kantor dan mencuci pakaian (Beragama Hindu). Tetapi Mboknya bilang, kalau dia suka mendengarkan ‘lagu’ tersebut. “Dulu pas sekolah sering dengerin begituan sama teman-teman” jelasnya.
Upacara penebangan pohon (lebih tepatnya pemindahan penunggu pohon ke tempat lain) |
Pernah juga suatu hari dulu, aku menghadiri sebuah upacara. Dimana team lapanganku akan menebang sebuah pohon yang masuk area proyek. Pohon tersebut terkenal dengan pohon keramat. Sebuah pohon mangga besar yang sangat rimbun. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, negosasi antara pemangku adat dan penunggu pohon tersebut (tak kasat mata), penunggu mau dipindahkan ke tempat lain dan pohon boleh ditebang. Duduklah aku bersama dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang berpakaian adat lengkap. Sudah tersedia sesaji-sesaji dihadapan mereka. Yang paling khas saat upacara adat begini adalah suara kemoceng yang ‘klinting klinting kliting’ disamping dupa dan sebagainya. Jujur saja itu kali pertama, aku merasakan suasanannya. J
Liburan pertamaku dengan rekan kerja di Bedugul |
Bedugul |
The Silas |
By the way, bagi yang nanya bagaimana sih rasanya Hari Raya Nyepi di Bali? Whahaha, rasanya amazing sekali. Aku ingat waktu itu sore sebelum nyepi dimulai, aku sudah belanja cukup banyak untuk bertahan di rumah seharian. Nyetok mie instan, telur, buah, snack dan lain-lain. Karena bener-bener seharian gaboleh keluar rumah dan lampu-lampu harus dimatikan. Kesenangan aku saat itu, karena akhirnya aku berhasil rebahan setelah sekian lama pagi sampai sore duduk di depan laptop. Jadi malam setelah belanja stay di rumah, pagi-siang-malam, terus menjelang pagi masih ragu antara sudah boleh keluar rumah atau belum. Apalagi aku harus balik kerja pukul 07.00 WITA. Akhirnya kupaksakan mengendarai motor menuju kantor, jalanan masih sepi abis. Ternyata hari itu nyepinya disambung dengan lockdown akibat pandemi Covid-19. Jadi pergerakan orang-orang disini masih dibatasi sampai keesokan harinya. Setiap gang dijaga oleh Pecalang (Pamong Desa). Orang yang kebutuhan untuk bekerja sepertiku dipersilakan lewat dan orang yang akan berpergian jauh dihadang dan disuruh putar balik. Begitu kira-kira nyepi tahun 2020 di Desa Sawan ini.
Terus kalau ada yang nanya leak, jujur saja aku belum pernah ketemu dan kalaupun pernah aku gak yakin itu leak ya, Ahaha. Suatu sore habis maghrib, aku pulang dari salon langgananku. Waktu itu aku detox wajah hehe. Aku ketemu seorang bapak operator di tempatku bekerja belok kearah toko warna biru. Akhirnya aku ikut bapak tersebut belok ke toko untuk membeli sesuatu. Setelah itu kami pulang, tapi bapak itu mengendarai motor dengan mengebut, ya sudah aku naik motor santai. Hingga waktu disebuah rumah yang depannya semak-semak, aku melihat rambut panjang, aku tamatkan betul-betul penglihatanku, semakin kulihat semakin berbulu-bulu, setelah sadar, kupacu motorku dengan secepat-cepatnya (gas poll). Aku istigfar sebanyak-banyaknya, hanya itu sih hal mistis yang ketemui.
Pemandangan wajib diberbagai tempat |
Kalau babi, jujur aku belum pernah tau rasanya gimana. Bagaimanapun juga dalam Islam babi itu haram. Tapi kalau melihat bagaimana cara bikin babi guling aku sudah pernah. Hal yang paling berkesan soal makanan, saat itu aku balik dari cuti pertamaku. Aku menunggu jemputan disebuah perempatan. Disana buka berbagai warung berjajaran. Aku kelaparan setelah dalam perjalanan pulang aku jaim ketika ditraktir seorang professor UNDIKSA yang kebetulan satu mobil denganku dari bandara. Tanpa pikir panjang aku pesan nasi goreng, sebuah makanan yang kurasa cukup aman. Tapi jangan salah, ibu penjualnya sekilas melihat ke penampilanku dan berkata “Maaf mbak, nasi gorengnya babi”. Akhirnya kutahan rasa laparku. Jadi saat memilih makanan di Bali jangan hanya terkecoh pada tulisannya saja, misal “Nasi goreng”, “Bakso”, dll yang tanpa menyebutkan babi. Tanya detail dengan sopan pasti tidak akan menyinggung perasaan siapapun. Bahkan ada sebuah warung bakso dengan nama ‘bakso haram’ disini ahahaha.. aya-aya wae.
Sunset di Tanah Anarki |
Indah banget
hidup di Bali. Tidak terasa setahun sudah aku menetap di Bali dan sudah banyak
tempat yang kukunjungi disini. Banyak kenangan yang kujejaki, bahkan bonusnya
dari Tuhan, aku ketemu jodoh di Bali wkwkwk. Bali ini tempat ternyaman untuk
tinggal, tapi bagi aku tentu bukan tempat untuk menetap. Bagaimana aku menyapa
orang-orang setiap pagi saat aku berangkat kerja dan sore hari saat aku pulang
kerja. Bagaimana ternyata aku sudah diam-diam mulai bergosip dengan ibu-ibu di toko,
saling bercerita tentang kehidupan dengan mbok cuci dan bagaimana aku
menanggapi ketika bapak-bapak diwarung membercandaiku. Bahkan aku merasakan
sebuah ketulusan dari ibu penjual buah langgananku, dimana saat itu aku sudah
jarang ke pasar karena cuti juga karena sudah jarang ke pasar lagi, ibu itu
menangis katanya kangen, manis sekali. Bahkan ibu itu ingin suatu saat
berkunjung ke kosku untuk sekedar mengobrol bersama. Sekian ceritaku selama
setahun disini, dan pastinya masih banyak cerita yang tidak bisa aku ceritakan
dalam tulisan ini. Terlalu banyak dan dalam.
Buleleng, 24 Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar