Alif, Huruf Hijaiyah Pertama dan Cinta Pertama



Surau kecil itu sudah banyak perubahan. Dari dindingnya yang telah dicat berwarna, atapnya yang sudah mulai dihiasi kubah dan bilah kipas ditengah-tengah plavon yang entah kapan sudah dipasang. Lantai yang dulu telanjang, kini juga sudah dibaluti karpet panjang bershaf-shaf. Meski hampir keseluruhan sudah berubah, tapi yang kutemui saat ini adalah orang-orang yang sama seperti dulu. Mbah Ijah yang kini semakin tua saja, Mbah Sih yang dulu sering mengertak aku dan kawan-kawan saat ramai, Bik Asih guru ngajiku yang sekarang sudah tidak mengajar lagi dan sebagian wajah-wajah lainnya yang masih setia berjamaah disini.
Sepuluh tahun lamanya aku kurang familiar dengan surau kecil di desaku. Shalat disana hanya saat hari-hari besar seperti Terawih dan shalat ied, itupun jarang lagi setelah aku kuliah jauh dari desa ini. Surau ini menyimpan banyak biru, yang selalu kurindukan. Aku sudah kehilangan kabar dari kawan-kawanku saat itu, Aulia, Dina, Resa, Dion, Kevin, Adit, kecuali Azizah yang masih karib denganku hingga kini. Dan itu dia, aku tertegun melihat kearah laki-laki tinggi, berwajah bersih, memakai kopyah, baju koko putih dan sarung biru muda. Ah, dia masih seperti dulu, kini jadi semakin dewasa saja. Namanya Alif, saat usiaku 12 tahun, aku jadi susah membedakan. Sebenernya Alif itu huruf hijaiyah pertama ataukah cinta pertama.
Orang desa biasa memanggilku Zahra. Begitu tidak mudah hari-hariku menjadi kembali asing dengan desaku sendiri. Empat tahun sudah aku meninggalkan desa ini untuk menuntut ilmu di kota orang. Hidup jauh dari keluarga dan jarang bisa pulang karena terhalang tugas, waktu dan jarak. Susah payah dan jatuh bangun aku menuntaskan semua, bahkan terkadang Amakku memarahiku karena aku lupa berkabar. Studiku telah tuntas, dan kini aku kembali ke desa ini. Desa dimana aku pertama kali dan berkali-kali merasakan kenyamanan. Desa tempat aku menemukan orang-orang paling tulus diantara jutaan umat yang menyapa. Aku memiliki masa kecil yang indah di desa ini.
“Siapa Mak yang adzan ini, Alif kah?” ucapku pada Amak sambil membantunya memasak.
“Iya, kadang juga mengimami shalat” jawab amak sambil konsen dengan mengoreng bawangnya.
“Alif?” ucapku menyamarkan kagum dan bahagia.
“Siapa lagi” celetuk Amak.
Anak laki-laki itu, terus terang aku mengaguminya sejak dulu masa kita mengeja huruf hijaiyah bersama. Kita juga sering bermain bersama layaknya anak-anak kecil di desa pada umumnya. Hanya saja semenjak kita tumbuh remaja, ada perasaan malu, bahkan hanya untuk sekadar menyapa satu sama lain. Aku dan Azizah terus terang saja menaruh kagum kepadanya. Azizah adalah sahabat karibku, terbaik yang pernah ada. Bahkan aku masih sangat ingat tahun lalu, bagaimana aku dan Azizah menjalani waktu hari raya idul fitri. Ketika akan bertamu ke rumah Pak Dhe, tidak kusangka ada Alif didalamnya. Diterasnya aku dan Azizah hanya salah tingkah dan ragu untuk lanjut kedalam.
“Jadi minta maaf atau enggak? Dosamu banyak lho ke aku” ucap Pak Dhe memberi kode agar Aku dan Azizah masuk kedalam.
“Aku tadi siang sudah kan Pak Dhe?” sahut Azizah meminta persetujuan untuk tidak masuk, sebab aku tahu, dia memiliki degup yang sama denganku.
“Yang satu gamau masuk nih?” ucap Pak Dhe lagi.
Aku masuk penuh rasa sopan, kemudian kusalami satu persatu yang ada diruangan itu, termasuk dia. Aku sempat merasa kaget ketika dia menjabatku erat, kupikir memang gaya salamannya begitu. Sekalipun aku tak menatap kearah matanya, dia terlalu teduh dan aku sedang dingin.
“Langsung saja Pak Dhe, mau lanjut ke yang lain” pamitku dan membawa sejuta rasa yang tak karuan. Bagaimana mungkin aku tumbuh, tapi perasaanku tak banyak berubah. Aku kira masa kecil adalah hal yang wajar cinta-cinta monyetan, asal suka, tapi mengapa sekarang masih sama.
Sepuluh tahun yang lalu. Surau itu adalah tempat yang bukan sekadar untuk shalat berjamaah, tapi juga belajar mengajar mengaji yang memiliki jadwal terstruktur. Anak-anak kecilnya, termasuk juga aku, memiliki minat yang tinggi dan sangat bersemangat menjelang ba’da shalat maghrib. Disana aku dan kawan-kawan diajari membaca qur’an dimulai dari iqra, kemudian tiap malam minggu jadwal kami adalah hafalan surat pendek dan pada malam jumat kami semua diajari shalawatan. Percayalah, perubahanku sudah sangat banyak. Dulu, aku adalah anak tomboy yang memiliki tingkat nakal pangkat tiga. Tiap hafalan surat pendek, aku pasti pura-pura tidur, seperti itu kelakuanku.
Abahnya Alif adalah guru mengajiku, juga imam di surau itu. Keluarganya sangat terpandang, bukan karena kekayaan, tapi karena dedikasinya terhadap agama di desaku. Menjadi kecil jaman dahulu sangat menyenangkan, kita dapat bermain petak umpat, kelereng, main nenek buta tanpa mengenal gadget. Kami juga masih menikmati indahnya peradaban bersurat, surat dari sobekan kertas untuk menyatakan perasaan. Ah, malu sekali kalau mengingat masa itu. Terlebih lagi saat ketahuan orangtua. Sayang sekali, aku dan Alif tidak pernah ditakdirkan untuk satu sekolahan. Saat aku masuk SD, Alif masuk ke MI, tentu saja satu sekolah sama Azizah. Tiap aku pulang sekolah, aku pasti mampir ke sekolahan Azizah. Aku mengintip kelas mereka yang hanya berisi 8 murid.
“Habis ini kita main bekel ya” ajak Azizah saat kita beriringan menaiki sepeda untuk pulang.
“Iya, gamau main lompat tali sekalian? nanti aku ajak sekalian Kevin, Resa, sama Dina” tawarku yang memang lebih suka permainan yang aktif.
“Yah, kan aku gabisa mainan begituan” jawab Azizah.
Azizah ini tipe perempuan yang kalem, feminim dan keluarganya memiliki tingkat religius yang cukup baik. Bapaknya Azizah adalah imam surau yang sering bergantian jadwal dengan Abahnya Alif.
Hari ketiga aku di rumah, Amak memaksaku untuk ikut shalat berjamaah bersamanya ke surau. Dengan perasaan sedikit malas awalnya aku menolak, tapi setelah mendengar adzan yang dikumandangkan Alif, aku mengiyakan dengan bergegas mengambil wudhu. Aku mengambil shaft dibelakang Amakku, karena shaft tempat Amakku sudah penuh. Aku merasakan hal yang luarbiasa, bahagia atau bagaimana, maghrib ini Alif menjadi imam. Dia persis seperti Abahnya, menghayati setiap ayat yang dibaca dengan suara lembut dan tak pernah tergesa-gesa. Ingin sekali menyapanya saat kita sama-sama sedang mengambil sandal setelah shalat berjamaah.  Kami sama-sama menenteng sajadah, saling menatap sebentar, kemudian Alif tersenyum kearahku sebagai tanda menyapa. Alif, bagaimana caranya agar dia juga menjadi imam pribadiku, setelah menjelma menjadi huruf hijaiyah pertama dan juga cinta pertama?
“Ayo meet up, kangen” ucap Azizah dari sebrang. Dia sering menelponku.
“Kayak gak pernah ketemu setahun aja, bulan kemarin ketemu juga kali” kataku menimpali ajakannya.
“Besok ya, please, mumpung aku pulang” rengeknya lagi.
“Pagi aku kerja, habis maghrib gimana? Nongkrong di café?” ajakku.
“Oke” setuju Azizah. Kemudian pembahasan kita terus bergulir, merembet jadi sebuah novel dialog antara dua karib yang menyukai pria yang sama. Kita sudah dewasa, dan pilihanku hanya dengan mengelak bahwa aku masih menyimpan rasa. Aku berkata bahwa, perasaanku telah berubah.
Bersyukur sekali, aku mendapatkan ruang kerja ini tepat pasca setelah wisudaku. Sebelum wisuda, aku memang memutuskan untuk beristirahat dahulu, liburan dan memfreshkan otak. Dan setelah wisuda, okay, aku siap dengan suasana yang baru lagi. Aku mulai menempeli ruang kerja dengan jadwal harian, motivasi dan beberapa tempelan-tempelan tugas yang harus kulakukan. Di kalender sudah aku lingkari beberapa tanggal yang menunjukan bahwa aku ada perjanjian, termasuk dengan Azizah. Aku meminum air dari tumblerku. Kembali ke desa telah tidak mewaraskan pikiranku. Semalam aku bermimpi seperti benar-benar nyata. Aku dijodohkan dengan Alif. Aku gamblang merasa seperti telah menjadi istrinya dan aku bahagia. Oh Tuhan, berantakan sekali jalan pikiranku.
Kutuntaskan semua pekerjaanku dan selesai tepat waktu adzan maghrib berkumandang. Aku bergegas mengambil wudhu dan shalat di ruang kerjaku yang tidak seberapa luas. Aku buru-buru berangkat, awalnya aku takut akan telat dan membuat Azizah menunggu lama. Tapi ternyata selalu seperti ini jika aku janjian dengan seseorang. Jatuhnya selalu aku datang duluan. Aku memesan cappuccino panas, sebab angin sedang berhembus kencang. Kurasa yang hangat-hangat selalu bisa meleburkan suasana. Aku mengotak-atik ponselku yang seluruh chat grupnya sengaja kubisukan. Membalas sebagian chat penting dan teman kuliahku dulu dan beberapa rekan kerjaku. Apakah Alif memiliki ponsel ya sekarang? Lalu apakah aku bisa chat dengan dia tanpa diketahui orangtua seperti dulu?. Alunan musik dari band café kian membuat perasaan semakin terbawa. Namanya yang diam-diam kusebut dalam doa, lalu dalam kehidupan nyata kupatahkan dengan kalimat “Aku tak pantas”. Aku ini membingungkan, tapi Tuhan tak mungkin bingung hanya sekadar untuk memasangkanku dengan dia, jika benar takdirku.
“Hayo, melamun aja. Maaf ya aku telat. Ada hal penting yang kubicarakan dengan orangtuaku” ucap Azizah sambil mengambil tempat duduk didepanku. Aku membalasnya dengan senyum kemudian menatap wajahnya yang kurasa sudah siap menluncurkan cerita yang cukup panjang. Benar saja, kini kedua tangannya telah mendekap tanganku.
“Aku akan menikah dengan Alif” ucapnya cukup cepat. Dan kurasakan tanpa jeda. Seperti ada petir dan kesejukan menyentuh hatiku. Harusnya aku bahagia melihat mata berbinar dari sahabatku yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tapi tidak dapat kusamarkan bahwa hatiku juga retak, sebab kisah cinta pertamaku tidak sempurna.
“Waw, maaf-maaf. Aku kaget saja jika akhirnya begini, bagaimana bisa?” utasku setelah sekian lama terdiam hanya menatap kearah Azizah tak percaya.
“Jadi, orangtuaku dan Alif menjodohkan kita berdua. Orangtuaku gapernah tahu lah tentang perasaanku kalau aku suka sama Alif, dan perjodohan ini menjadi jawaban doa Tuhan yang sangat sempurna. Lalu…..” cerita Azizah kepadaku. Tentu cerita itu menjadi alunan yang panjang, menjadi mimpi buruk sebelum aku tertidur.
Maghrib ini Amak mengajakku berjamaah di surau. Aku mengikutinya meskipun bukan Alif yang mengumandangkan adzan. Aku ingin khusyuk meminta kepada Tuhan agar hatiku dilapangkan keikhlasan. Bahwa yang pertama bukan hanya Alif sebagai huruf hijaiyah pertama dan cinta pertama, tetapi juga Azizah sebagai sahabat pertama dan selamanya. Aku termenung, sambil menunggu iqamat dikumandangkan. Alurnya sangat indah sekali, bahkan ketika hampir saja aku berharap terlalu berlebihan agar mimpiku menjadi kenyataan.
“Ayo, shalat jamaahnya akan dimulai” ucap Amak membubarkan lamunanku. Akupun berdiri, membenahi mukenaku.
“Sambil berdoa kepada Allah, biar dimudahkan jodohnya” ucap Amak lagi. Aku mengangguk dan tersenyum kearahnya. Mungkin saja Amak terbakar sebab teman-temanku sudah banyak yang menikah. Apalagi setelah mendengar kabar bahwa Azizah akan segera menikah.
                Alif menjadi imam lagi maghrib ini. Hatiku remuk mengamini Al-fatihanya dirakaat pertama dan kedua. Fokusku untuk meminta jodoh seperti yang Amak bilang telah bubar. Bagaimana tidak, jika yang mengimamiku adalah yang paling kuinginkan. Yang selalu kusebut namanya dalam doa. Kukuatkan hatiku agar tetap berirama dengan khusyuk.
“Amak pulang duluan ya, aku mau ngaji sebentar” Ucapku kepada Amak setelah serangkaian doa setelah shalat maghrib.
“Iya, Nduk” jawa Amak.
Aku membaca qur’an disekeliling anak-anak kecil yang sedang mengantri untuk mengaji dengan Bu Ratih. Mereka jumlahnya tak sebanyak pada jamanku. Entahlah, yang kupikirkan sekarang hanyalah bagaimana caranya menenangkan hatiku dan menghindari untuk bertemu Alif.
Setelah kurasa cukup, aku berpamitan dengan Bu Ratih. Dengan masih berbalutkan mukena dan membawa sajadah ditangan, aku tersentak kaget akan melewati pintu tepat bersamaan dengan Alif.
“Sampeyan duluan” ucap Alif sambil tersenyum. Akupun bergegas untuk buru-buru keluar. Hatiku tentu bergetar.
“Zahra, tunggu” teriak Alif dari belakang. Kini kita berjalan beriringan, aku hanya menunduk.
“Apa kabar? Sudah menetap di rumah?” tanyanya dengan santai, menatap kearahku lalu menatap kedepan lagi.
“Alhamdulillah baik. Iya nih, betah di rumah” jawabku sambil sesekali menatap kearahnya. Wajahnya adalah yang paling teduh kutatap selama ini. Diantara jutaan manusia di bumi.
“Prihal surat masa kecil kita dulu, bagaimana tanggapanmu?” ucapnya tiba-tiba. Membuat pipiku memerah menahan malu.
“Kupikir itu hal yang biasa. Maklum masih anak kecil. Asal-asalan menulis saja” jawabku sambil tersenyum sangat terpaksa. Akan kutaruh kemana wajahku, jika lawan bicaraku kini menatap kearahku.
“Aku hanya ingin memastikan saja. Bahwa kamu tidak benar-benar saat itu. Meski aku benar bahwa menyukaimu hingga saat ini. Syukurlah kalau begitu, sebab orangtuaku menjodohkan aku dengan Azizah. Dengan begitu, aku bisa dengan tenang melangkah kedepan” ucapnya cukup panjang. Wajahnya meredam kecewa, tapi lebih sedikit dibandingkan kecewa yang menyayat dalam hatiku. Penyesalan mulai menjalari tubuhku, membuatku ingin saja berhenti menghirup oksigen saat itu juga. Angin kemarau masih saja menyapu sayut-sayut wajahku yang sayu. Malam ini bintang bertaburan. Tapi hatiku abstrak.
“Aku duluan ya, Assalamu’alaikum” ucapnya kemudian bergegas pergi meninggalkanku . Sepertinya dia baru saja sadar bahwa dia telah mengakui perasaannya. Mungkin dia juga sadar bahwa telah melampaui menyapaku sejauh itu setelah sepuluh tahun tidak bertegur sapa.
Aku tahu, barangkali saat aku menyebut nama Alif dalam doa, diam-diam Alif juga menyebut namaku dalam doanya. Tapi ada doa yang lebih khusyuk daripada doaku, itu doa Azizah. Azizah tidak pernah bersurat dengan Alif, tidak pernah saling bertegur dengan berbalas surat. Tapi aku yakin, dia telah meyakinkan sang pemilik jiwa, dia telah meyakinkan Tuhan untuk memasangkan Alif dengannya. Alif, huruf hijaiyah pertama dan cinta pertama yang tidak sempurna.
Seminggu setelah pernikahan Azizah dan Alif, aku memutuskan untuk pindah kerja keluar Pulau Jawa. Aku ingin meredam segala sesal dan kecewaku. Saat dipelaminan, kuhadiahkan senyum tiada tara kepada mereka berdua, karib pertamaku dan cinta pertamaku. Kupeluk Azizah erat dan kuteteskan beberapa air mata, kubilang padanya aku terharu, padahal itu hanya ungkapan hati bahwa “Aku yang seharusnya ada disitu”. Alif masih saja sepolos dulu, bahkan ketika menatap mataku saat itupun dia tidak tahu bahwa aku benar-benar menginginkannya. Dan aku kembali lupa, bahwa Alif bukan peramal yang mampu menebak pancaran mataku saat kita saling beradu tatap. Pun sekali berkedip, Alif kembali menundukan kepalanya. Tuhan tak pernah salah mengatur rencanaNya. Aku harus asing lagi dengan Desa ini, barang hatiku telah pulih, aku akan kembali.

Komentar

Postingan Populer