Dia, hujan dan imajinasiku
Imajinasiku dan hujan saat itu
Dua
tiga helai daun berguguran terkena tetes hujan yang tak menentu, terkadang
deras dan semenit berikutnya menjadi gerimis. Musafir jalananpun mencari tempat
berteduh untuk mempertahankan dirinya agar tidak basah, mungkin perjalanannya
yang masih panjang. Kupandangi tetes demi tetes kejernihan dari atap sebuah
ruko tempat ku berteduh. Dan sesekali kupandangi wajahnya yang teduh lebih dari
apapun. Berulang kali pandanganku dibalasnya, entah kenapa aksaranya masih
terpenjara. Kubalas dengan aksara hatiku, entah dia memahami atau tidak, aku
mengacuhkan itu. Hingga pandanganku kubuang berulang kali di genangan air yang
mampat tak kunjung surut.
Gemercikan
mulai menghilang, hingga tinggal tetesan-tetesan kecil yang manja. Berbicaralah
pintaku dalam-dalam.
“Mau melanjutkan perjalanan?” tanyanya dengan tatapan dalam
ke mataku.
“Ayo, sudah ditunggu teman” jawabku membalas tatapannya
namun tak ingin terlalu jatuh kedalamnya. Terbungkam sudah imajinasiku saat ini
melaju bersama jabrik si motor kesayangannya menuju perpustakaan kota. Ingin aku
mendengar sepatah kata saja dari bibirnya, namun tak ada getar sedikitpun.
Kubuang sudah benih untaian kasih yang memiliki viabilitas yang tinggi ini.
“Ashva” panggilnya membuatku berputar 180 derajat hingga
tertuju kearahnya.
“Iya Dika?” jawabku masih dengan imajinasiku
“Nanti dijemput jam berapa?” utasnya dengan senyum itu,
senyum yang benar-benar membuatku mengutuk diriku berkali-kali untuk memiliki
rasa kepadanya.
“Jam 17.00, terimakasih” jawabku dan berlalu tak ingin
imajinasiku terberai
Dia,
hujan dan imajinasi. Kemarin sempat ku menggabungkannya menjadi satu, namun tak
pernah jua terputar dalam komedi hidupku. Terkadang hanya hujan, atau imajinasi
dan terkadang hanya dia, tak pernah menjadi satu. Andika Prasetya, seorang
tokoh yang kusebut dia dalam ceritaku. Sifat konyolnya, caranya memperhatikanku
dan perannya sebagai penyemangat kedua setelah orangtuaku, semua itu membuatku
semakin berimajinasi untuk terus menggeggamnya erat dan tak akan kulepaskan.
Itulah keegoisanku dalam memilihnya.
Hari
ini adalah tahun kedua setelah hujan dan imajinasi yang dahulu kulalui bersama
tatapnya. Masih sama, bibirnya tak bergetar sedikitpun dan hanya tatapnya yang
dalam. Untuk tahun kedua, ataukah akan sama seperti kemarin? Dia tak ingin
mengatakan apapun. Katakanlah, pintaku dalam hati. Berteduh lagi kita, ya, aku
dan dia di sebuah ruko, memandangi tetes-tetes yang turun dari genting.
“Ashva, aku melihat penyesalan pada dirimu. Penyesalan jika
aku meninggalkanmu, penyesalan jika aku melepaskanmu, penyesalan jika aku
membiarkanmu pergi” utasnya membuat hatiku bergetar tak mampu untuk berkata
sepatah apapun. Ini imajinasiku, dan ini hujan serta dia. Dia, hujan dan
imajinasiku bersatu.
“Tahun yang kedua dan aku baru bicara, bukan ku ragu, tapi
aku ingin melihat sampai dimana batas sabarmu, aku menyayangimu” pintanya yang
kurindukan sepanjang hujan turun
Dan
saat ini adalah hujan di tahun ketiga. Dia, hujan dan imajinasiku. Ada yang
berbeda di tahun ketiga ini, setelah kejadian tragis merampas hampir 80% hidup
yang kumiliki. Tapi tetap saja aku ingin menyebut, dia, hujan dan imajinasiku.
Hujan yang masih sama di ruko tempat berteduh, imajinasi yang tak pernah
berubah yang selalu kuuntai indah bersamanya, canda tawa kekonyolanya, dan dia
yang tinggal bayangan. Dika yang kusebut dia didalam ceritaku, kini tinggal
bayangan. Setelah kejadian tragis itu, di tahun yang ketiga. Tak ada mata yang
seteduh matanya dan senyum yang membuatku jatuh cinta tiap kali melihatnya.
Di
tahun yang keempat, masih kusebut dia, hujan dan imajinasiku. Biarlah
kumengenang keindahan yang dimilikinya. Tentang tahun pertama dalam diamnya dan
tentang tahun kedua di dalam keindahan aksaranya. Ku kenang kau dalam genangan
air hujan yang dengan hati-hati selalu dihindarinya agar tidak kita terjang. Si
jabrik kesayangannya yang selalu menemani hari kita, hari yang imajinasiku
telah kau wujudkan di tengah hujan di ruko tempat berteduh. Dia, hujan dan
imajinasi.
fiktif banget, sng nyata di kemas fiktif mungkin lebih hdup
BalasHapusTerimakasih atas kritik dan sarannya.
Hapus