Hujan Pertama Dibulan Desember
Bercak-bercak guratan
jingga itu kembali memenuhi langit di senja hari. Alunan angin yang berhembus
memelodi dengan syairnya. Cukup lembut dan secara perlahan membelai hingga
menjalar ke aliran darah. Awan dilangit sedikit demi sedikit mulai bergeser,
mengecil, lalu hilang tak terlihat lagi. Bukan suasana gelap ataupun mencekam,
hanya saja sore ini terasa lembut dan tak
ada yang perlu dikhawatirkan. Sepasang bola mata itu memancarkan
binar-binar yang elok dengan segala keindahan didalamnya. Diandra memandangi
binar itu tanpa merasa canggung sedikitpun. Agak jauh jaraknya, dan selalu dari
sudut Kafe itu Diandra mulai menikmati senjanya.
Roby, seorang penulis muda yang telah mampu merasuki hati
Diandra. Awalnya hanya sebatas nama, lalu biografi dan selanjutnya, mereka
bertemu pada event launching buku
Roby yang ke 17. Cowok itu berada satu tingkat diatasnya, Roby semester 8 dan
Diandra semester 6. Mereka kuliah di dua Universitas yang berbeda di kota Bandung.
Menghadap kelayar laptop sambil melirik kearah Roby, hanya itu kegiatan terbaik
Diandra dalam mengisi senja. Baginya, Roby juga termasuk inspirasi, Diandra
dapat menulis apa saja dengan majas dan diksi yang baik bila sambil memandang
Roby. Memang, diluar jam kuliah, Diandra bekerja sebagai penulis di sebuah
permajalahan.
Jingga dilangit berubah jadi gelap dengan kabut-kabut
dingin khas dataran tinggi. Angin yang berhembus semakin tertawa menang
menambah dinginnya suasana. Roby adalah sesosok yang memikat lewat tulisannya,
lewat senyumnya yang santun dan dia adalah tokoh baik dengan prinsip hidup yang
tertata. Diandra memiliki semua karya Roby dari buku pertama sampai buku ke
17nya. Buku-buku tersebut menempati rak spesial di kamar Diandra. “Ah, Roby…hatiku
jatuh ditempat yang tidak tepat. Kamu sih kayak kue kismis rasa cokelat, bikin
candu” geming Diandra mengawali tidurnya. Matanya masih memandang kearah rak
buku itu, selanjutnya mencoba memejamkan matanya dengan penuh harapan untuk
merebut mimpi dan membawanya ke dunia nyata.
Senja itu selalu saja menjadi hari yang terus berlalu.
Setidaknya senja kemarin adalah ke sekian kalinya dalam setahun, Diandra jatuh
hati kepada Roby. Derai air mancur di taman kampus membuat sempurna perasaan
Diandra yang melintang melukiskan coretan indah tentang hatinya. Tak tahu hati
Roby bagaimana, hati yang tak mungkin ada Diandra didalamnya, sekedar tahu nama
saja tidak. Jemarinya mulai menari menekan huruf-perhuruf di laptopnya hingga
merangkai sederetan kalimat. Semua tertata rapi, menyuarakan apa yang ingin
dikatakan hati dan perlahan mulai melengkungkan warna pelangi.
“Jadi, mau tetap disini
atau ke kelas?10 menit lagi kuliah dimulai” ucap Kenzo, seorang cowok yang
telah menjadi teman dekat Diandra sejak semester 1. Dia juga yang selalu
menemani Diandra kemanapun dan juga dia yang diam-diam menyimpan perasaan
kepada Diandra. Tapi Diandra tetap bertahan dengan perasaannya dan tak berhenti
berharap ada suatu scenario dari Tuhan, dimana dirinya memiliki kesempatan
untuk dekat dengan Roby.
Gerimis mulai berjatuhan dengan lembut, menerpa
wajah-wajah yang berusaha menerjang karena terdesak waktu. Hujan, gerimis dan
angin memang sebuah peristiwa yang selalu istimewa dalam sebuah cerita. Diandra
mencoba keluar kampus dan hendak menerjang gerimis-gerimis yang lembut itu.
Tangannya berada diatas kepala dengan tujuan agar tidak terlalu basah,
langkahnya dipercepat, hingga ada sebuah payung cokelat yang mendarat tepat
diatasnya.
“Ken? Kebetulan, ayo ke
kafe seberang jalan” ucap Diandra setelah mendongkakkan kepala menatap ke arah
Kenzo. Kenzo hanya mengangguk dan menyamai langkah Diandra menuju kafe itu.
Kenzo tentu saja tahu maksud Diandra, karena dialah yang selalu menemani dan
mendengarkan apapun yang Diandra ceritakan tentang Roby.
Kembali menjadi senja dalam menjalankan rutinitas
memandangi surya yang tak pernah tenggelam. Wajah itu samar-samar lalu terlihat
jelas lagi seiring dengan terik lembut yang menerobos lewat jendelanya. Roby
terlihat tenang, sesekali tersenyum menatap kearah layar laptopnya dan kemudian
menyeruput kopi dalam cangkirnya. Detak jantung Diandra semakin tidak bisa
dikendalikan. Tangannya memegang erat sebuah buku baru karya Roby yang
dibelinya secara online. Dia berniat menghampiri Roby untuk meminta tanda
tangan dibuku itu.
“Ken, aku harus
gimana?” utas Diandra memelas kearah Kenzo.
“Samperin saja,
daripada nanti kamu nyesel” ucap Kenzo dan kemudian menyeruput kopi cokelat
kesukaannya.
“Oke, aku kesana dulu
ya” ucap Diandra dengan mantap dan kemudian berjalan pelan menuju arah Roby.
Roby tetap tenang dan kini mulai memainkan ponselnya.
Semakin dekat, Diandra menemukan keteduhan didalam wajahnya. Roby sebenarnya
tak lebih tampan dari Kenzo, tapi hati tetaplah yang maha memilih apa yang
dirasakan. Kenzo menatap kearah Diandra yang mulai mendarat di kursi nomor 7,
tempat Roby duduk. Dia tak akan pernah mampu mengungkapkan perasaanya dan
terlebih lagi apabila pengakuan tersebut akan menyebabkan jarak diantara
Diandra dan dirinya, Kenzo tak bisa.
“Kak Roby” sapa Diandra
pelan menatap kearah Roby. Roby mendongkakan kepala melihat kearah Diandra.
Lalu melepas kacamata minusnya yang casual.
“Iya. Ada yang bisa
saya bantu?” Tanya Roby sambil tersenyum dan membuat dada Diandra semakin sesak
dan kesulitan untuk bicara lagi.
“Mau minta tanda
tangan, Kak” ucap Diandra lagi sambil menuduk dan menyerahkan buku bersampul putih
dan hitam itu.
“Oh iya” jawab Roby dan
mengambil buku karyanya itu, lalu menanda tangani.
“Makasih ya udah
membeli bukunya” kata Roby menatap kearah Diandra.
“Roby, udah lama ya?”
sapa seorang wanita yang kemudian duduk disebelah Roby. Entah siapa, mereka
terlihat sangat akrab dan kini mulai mengobrol. Akhirnya Diandra melangkah
untuk kembali ke kursinya. Dari kursinya, Diandra tak bisa mengalihkan pandangan
kearah Roby dan wanita anggun itu. Mereka saling tertawa dan berbicara tentang
apapun, terlebih lagi tentang perkuliahan. Semua itu adalah hal yang ingin
dilakukan Diandra bersama dengan Roby.
“Sudah, siapa tahu
hanya teman kuliah” ucap Kenzo yang sedari tadi memperhatikan Diandra yang
gelisah dan tak ikhlas.
Masing-masing hati memang sulit untuk memahami hati lain
yang tidak diinginkannya. Ada mata yang sama indah, bahkan salah satunya lebih
terang dan menyimpan ketulusan, tapi hati jatuh di tempat semaunya. Selembar
daun mulai berjatuhan diiringi langit yang semakin gelap ditinggalkan oleh
sinar matahari. Perlahan namun pasti kabut dingin malam itu mulai datang
menyelimuti dan bebarapa memenuhi kaca depan mobil Kenzo. Matanya tetap tertuju
kedepan, suasana menjadi hening tanpa percakapan. Sepanjang jalan Diandra hanya
membolak-balikan buku karya Roby dan sesekali mengelus-elus kearah tandatangan
sang penulis. Ada hati yang tetap memilih rela.
Senandung kicauan burung kembali menyuarakan anugerah dari
Tuhannya. Detum jam menunjukan pukul 06.00 WIB. Sabtu adalah hari istimewa
ditambah dengan Minggu yang merupakan hari spesial. Mereka senantiasa
berdampingan, setidaknya membuang jauh penat, mengalihkan visual dari slide
materi dosen dan juga waktu yang tepat untuk berburu buku apapun di istananya.
Tapi nyatanya, bukan toko buku atau apapun yang ingin dituju Diandra. Diandra
hanya ingin menyelesaikan deadline pekerjaannya dan setelah itu ingin
melanjutkan project novelnya yang hampir selesai. Matanya tetap tertuju kearah
layar, kini tanganya mulai memegang secangkir kopi cokelat kesukaanya dan
menyeruputnya. Dia memiliki makanan favorit yang selalu sama dengan Kenzo,
entahlah, sejak awal memang begitu, dan terkadang Diandra melawan hatinya yang
terus-menerus takut kehilangan Kenzo.
“Andra, ada Kenzo di
ruang tamu” seru Bang Bisma diambang pintu kamar Diandra.
“Ngapain?” Tanya Diandra
kepada Bang Bisma. Bang Bisma hanya mengangkat bahu tanda tak tahu, kemudian
dia berlalu dengan pakaian dinasnya yang rapi dan selalu wangi. “Ah, Abang itu,
andaikan bukan Abangku, pasti udah aku jadiin pacar” geming Diandra sambil
tersenyum jail. Dindra melangkah ke ruang tamu.
Kenzo dengan segala ketulusannya. Dia yang terus bersama
Diandra sejak semester 1 dulu. Menyatakan perasaan bukanlah hal yang sulit bagi
Kenzo, tapi dia tetap menahan itu, karena dia tahu akan ada perasaan canggung
setelah menyatakan perasannya. Setidaknya bagi Kenzo, memandang Diandra setiap
hari adalah keindahan baginya. Pernah sesekali Kenzo ingin mengalihkan hati
kepada wanita lain, tapi itu hanya sia-sia dan hatinya tetap terpaut kepada
wajah Diandra yang sumringah dan penuh semangat. Sejak saat Diandra mengenal
Roby, Kenzo juga sudah terbiasa melukai hatinya untuk berpura-pura mendukung
perasaan Diandra, bahkan turut menyusun strategi agar Diandra dapat bertemu
Roby. Disetiap seminar, event launching
buku atau bahkan setiap senja di kafe seberang jalan itu. Dan melukai hati kini
telah menjadi hobi Kenzo, setidaknya ada celah untuk selalu bersama Diandra.
“Ken? ada apa ya?”
tanya Diandra dan kemudian duduk disebelah Kenzo.
“Ayo ke taman kota”
ucap Kenzo dengan senyum yang selalu seperti itu.
Taman kota ini telah menjadi sarangnya kenangan indah
antara Diandra dan Kenzo selama 6 semester ini. Banyak senyuman yang terlukis
dan sepertinya tak dapat dihitung lagi jumlahnya. Semua mengalir begitu saja,
dan seharusnya Diandra menyadari cinta itu. Dari mata yang lembut menyorot,
hati yang tulus dan juga genggaman tangan yang menghangatkan. Namun itu tidak
semudah yang terpikiran, semua cinta memiliki rumusnya masing-masing.
“Diandra, aku besok
pindah ke Semarang” ucap Kenzo mengakhiri senyum yang saling terlengkungkan
menghiasi sinar yang mulai berjinjit.
“Besok? Kenapa?” tanya
Diandra dan kini mulai menatap wajah Kenzo dalam-dalam. Kenzo kini menunduk.
“Ayahku pindah dinas,
jadi kami sekeluarga juga harus pindah. Harusnya aku tetap kuliah disini juga
gak papa, tapi aku ini anak tunggal, aku gak mungkin bisa ngebiarin Bunda
sendirian di rumah saat Ayah kerja” jelas Kenzo, mulai mengangkat wajah dan
memandang kearah Diandra yang menunjukan raut tak siap menghadapi hidup tanpa
Kenzo disampingnya. Diandra diam, menahan sesak yang hanya bisa ditahan dengan
jalan diam.
“Dra, sejak awal ketemu
sampai sekarang, aku suka kamu, jadi kenanglah aku” ucap Kenzo kemudian, kini
mulai menatap ke awang-awang yang menjelma menjadi awan.
Ada
bagian hati Diandra yang tersentak lalu mencoba meraba-raba, memutar ulang
pertemuan saat itu. Seharusnya Diandra menyadari sejak dulu, dengan perhatian
Kenzo yang lebih, dengan Kenzo yang ada untuk Diandra setiap saat dan tentang
pengorbanan yang membukit itu. Selama ini Diandra hanya sibuk mengagumi orang
yang acuh hingga mengabaikan yang jelas-jelas memancarkan tulus. Entahlah,
semua hanyalah tentang rasa yang terpendam, saling diam, hingga akhirnya ada
pengakuan yang membuat teriris lalu terasa nanar.
Hujan deras senja ini adalah hujan pertama dibulan
Desember. Diandra tersenyum melihati rintiknya yang keras berjatuhan di tanah.
Hujan ini, adalah hujan pertama di bulan Desember, hujan tanpa Kenzo. Dulu
dibawah hujan yang deras ini, selalu ada kaki yang menyamai langkah kakinya dan
juga meneduhi dengan payung cokelat polos itu. Lalu ingatannya merambah menuju
toko buku, taman kampus, kopi cokelat dan caranya mengacak-acak rambut Kenzo. Ada
rindu yang telah menghutan dihati Diandra sejak 3 bulan kepergian Kenzo. Diandra
tersenyum lagi, kali ini dengan air mata yang tak bisa dibendung. Mendadak
dadanya sesak, ingin meledak dan ingin mati saja.
Kereta
menuju Semarang yang dinaiki Diandra telah berhenti, namun derunya semakin
keras. Diandra bergegas secepat mungkin menyusuri lorong-lorong gelap hingga
menemui sebuah keramaian. Ada seseorang yang melambai kearahnya, kakinya
semakin cepat melangkah menuju kesana, sedikit berlari.
“Langsung aja ya, Mbak”
ucap seorang lelaki seumuran Diandra itu, lalu mempersilakan Diandra untuk
masuk ke mobil.
Kini mobil melaju
dengan kecepatan tinggi. Ada debar-debar dihati Diandra, kini diselingi dengan
pedih yang tak akan terobati. Semua telah berkerumun melingkari gundukan tanah
merah itu. Ada duka yang mendalam, ada jemari yang tak bisa dijamah lagi, semua
sudah terbatas oleh tanah dan alam yang berbeda. Diandra tak bisa mengharapkan
apa-apa lagi, apalagi mengharapkan tangan itu untuk menghapus air matanya
seperti dulu. Kenzo mungkin telah terlelap, nyenyak, tak bisa terlihat lagi.
Meskipun begitu, kenangan itu tetap pekat, meluruhkan semua air mata yang
tersimpan dikelenjar manapun hingga tak akan hilang, meski hujan pertama
Desember ini semakin deras menghujam bumi.
Komentar
Posting Komentar