Laboratorium dan Lorong Gelap



            Masih kupandangi wajah tenang itu. Didepannya terdapat alkohol 70%, NaOH, HCl, air raksa, pipit ukur, tabung rekasi dan peralatan laboratorium lainnya yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Seseorang yang bertambah ketampanannya saat siluet senja mampu menembus disela-sela kaca laboratorium. Dia tampak ahli memainkan jari-jarinya, mengambil cairan dengan pipet tetes, mencampurkan larutan satu dengan yang lainnya dan dia selalu serius tanpa berbicara. Katanya di suatu senja, dalam bekerja di laboratorium kita harus meminimalisasi kegiatan bicara, karena itu dapat menyebabkan kontaminasi. Aku tidak mau bicara, aku hanya mau memandangnya disisa waktu setelah kuliahku.
            Namanya Aldi Mahesa, dia seseorang jenius yang kuliah S1 di 2 universitas sekaligus. Dia adalah kakak tingkatku, aku semester 6 dan dia semester 8. Aku bertemu dengannya 2 tahun yang lalu saat kita berada didalam shift praktikum yang sama dan kebetulan kita satu kelompok. Dia cuek dan dingin kepada siapapun, tapi tidak kepadaku. Aku merasa mendapat ruang dihatinya. Aku menemani hari-harinya di laboratorium untuk penelitian tugas akhirnya. Dia semakin manis saja saat tersenyum melihat penelitiannya berhasil. Dia bahkan telah kuberi ruang penuh dihatiku hingga aku tak bisa menerima siapapun selain dia.
“Inez, for you” ucapnya sambil mengulurkan sebatang cokelat silverqueen ke arahku.
“Thanks, Al” jawabku dan kita menikmati senja di depan laboratorium sambil memandang lahan percobaan yang luas.
            Kuliah jauh dari orangtua membuatku memutuskan untuk menetap di asrama universitas. Gedung-gedung ini memberikanku kenyamanan dan rasa yang aman. Didepan gerbangnya dijaga oleh 3 atau 4 scurity, peraturannya sangat ketat dan banyak kegiatan positif yang terjadwalkan disini. Dari balkon belakang kamar, aku mampu merasakan angin laut yang membelai, 5 kilometer dari sini, ada laut yang membentang luas. Kabut tipis tampaknya agak menutup bulan sabit, timbul lalu hilang lagi. Kelelawar malam berterbangan dengan mengandalkan daya pantulnya saat hendak menabrak. Sesaat terdengar suara tokek yang bagiku agak menyeramkan dan kuputuskan untuk masuk ke kamar lalu mereview semua materi kuliah yang aku dapat hari ini. “Haduh Aldi, kan kamu muncul dilayar laptopku. Gimana aku mau fokus” gemingku sambil tersenyum lagi.
            Rabu, adalah satu-satunya hari panjang dengan setumpuk penuh jadwal kuliah. Sejak semester 3 aku selalu menghindari mata kuliah tambahan yang sekelas dengan Aldi. Presentasiku akan terhambat, pertanyaanku pada materi dosen akan terhenti di tenggorokan dan teman-teman yang mengetahui kedekatanku dengan Aldi pasti membuatku tidak nyaman. Untuk itu aku selalu menghindari jadwal sekelas dengannya. Hingga kini dia ke kampus hanya untuk penelitian tugas akhirnya. Dan hari ini aku tak bisa menemui Aldi. Masih ada tanda tanya yang tak berani kutanyakan kepadanya. Aku ini siapa baginya?
            Bermain di zona-zona tanpa kepastian membuatku semakin terjebak didalamnya. Ada getir-getir pilu di kenyataan yang aku pikirkan, aku semakin jatuh tapi perasaannya susah kubaca. Aku menemani hari-hari panjangnya di laboratorium, mendengarkan kecewanya saat penelitiannya ada kesalahan penimbangan takaran bahan kimia atau hanya sekedar mendengarkan cerita tentang hobinya menonton anime. Hanya itu, selebihnya tentang hati, aku tak tahu.
“Inez, tadi aku bantuin Kak Aldi di laboratorium” kata Desi yang tiba-tiba ada di kamarku malam ini.
“Aldi Mahesa? Bilang apa?” jawabku agak terkejut
“Karena aku teman terdekatmu, makanya dia bilang kalau sebenarnya dia itu sedang menunggui seseorang yang ada di luar Pulau Jawa. Dan kamu itu dianggap sebagai adiknya” Jelas Desi kepadaku dengan penuh kehati-hatian.
            Malam ini ada sesak didadaku beserta kepulan-kepulan suram yang menyayat. Selama 2 tahun berlalu, dia memberiku ruang, tidak memaksaku dan tidak membiarkanku pergi. Setelah semua ini, aku memutuskan untuk memberi jarak, berlalu bersama setumpuk buku dan juga notebook yang aku baca dengan emosi yang melebur. Malam ini jahat, dia memberiku jam-jam panjang yang seperti tak pernah berlalu. Aku mencoba menenangkan hatiku, hati yang pernah mejadi teduh. Kanopi yang meneduhi seseorang sehingga dia nyaman dalam penantiannya dibawah naunganku.
            Pagi ini, matahari muncul terlalu dini, teriknya mengikuti langkahku dijam pertama yang terjadwalkan untuk praktikum di laboratorium. Aku tak menghubunginya semalaman kemarin, meski ada pesan darinya via whatsApp, aku tak membacanya. Dan sengaja menciptakan jarak, agar dia tahu, ada hati yang telah lama diberinya harapan lalu sekarang rapuh. Dari tangga laboratorium aku bertemu dengannya, kupercepat langkahku agar tak pernah saling menyapa apalagi sejajar dengannya.
            Selama praktikum berlangsung, aku bisa melihatnya. Dia tetap tenang, aku sesekali melihat ke arahnya, aku sadar dia juga sering melihat kearahku. Es krim itu, cokelat, selai cokelat atau soal-soal yang dia pecahkan, ternyata hanya penghibur bagi teduhnya. Teduhmu sekarang rapuh dan punya masalah besar untuk diselesaikan, yaitu bagimana cara membuka hati untuk yang lain saat seluruh ruang ini sudah untukmu.
“Inez, tunggu” ucap Aldi menahanku pergi setelah praktikum selesai. Dia berjalan menghampiriku.
“Penelitianku sudah selesai, kenapa gak menemaniku untuk melihat hasilnya?” tambahnya lagi saat kita benar-benar berhadapan.
“Oh, baguslah Al” ucapku dan membuang muka kearah jendela.
“Desi bilang apa ke kamu?” tanyanya mengerutkan dahi.
“Bilang kamu lagi nunggu seseorang” jawabku dan merasa ingin segera berlalu.
“Iya Nez, dia itu orang yang..”
“Aku ga peduli Al, mau dia orang yang spesial atau apapun. Aku pamit dulu” ucapku dan benar-benar berlalu.
            Hari-hari selanjutnya, di dalam laboratorium aku melihat Aldi didepan sebuah laptop, bukan lagi bahan dan alat laboratorium. Dan sesosok wanita disebelahnya semakin menambah getir dihatiku. Aku yakin dia bukan mahasiswi di universitas ini, dia tersenyum kearah Aldi dan sebaliknya. Dia mengambil alih semua yang harusnya aku lakukan dan aku mulai mempertanyakan dimana hati Aldi? Menjadikan aku tempat pemberhentian untuk menunggu. Aku tak akan kembali lagi menjadi apapun dihidupnya.
            Lorong gelap yang kulalui untuk keluar dari laboratorium semakin mencekam senja ini. Hari-hari sebelum rapuh, melalui lorong ini bagiku seperti mendarat di planet mars, pengap dan hampa udara, selebihnya aku masih bisa bahagia berjalan berjajaran dengan Aldi. Entahlah diujung lorong semakin menunjukan bahwa hujan sedang deras dan angin bertiup agak kencang. Aku terjebak diujung lorong, menatap senja dan tak mungkin kembali menuju laboratorium karena harus melalui kegelapan yang panjang lagi. Aku merasa takut, hingga ada seorang cowok tinggi, rapi, berkacamata minus dan manis berdiri disampingku, sesekali dia memainkan ponselnya. Tak menatap kearahku, hanya memandangi hujan dan sesekali tersenyum. Sangat manis, kulitnya tidak terlalu gelap dan saat kacamata minusnya dibuka, ternyata dia juga tampan.
“Jangan mandangin terus, nanti suka, aku ga mau tanggung jawab” ucapnya tanpa memandang kearahku. Sontak saja aku mengalihkan pandangan dan tersipu.
“Mana cowok yang biasanya sama kamu?” tanyanya lagi dan kini memandang ke arahku.
Aku baru sadar, dia adalah cowok yang selalu berpas-pasan denganku dan Aldi saat di lorong panjang ini. Aku selalu mengabaikannya, sesekali aku menebak dia adalah mahasiswa teknik yang laboratoriumnya terletak di sebelah laboratorium pertanian.
“Dia lagi sama ceweknya di laboratorium” jawabku ketus menerawang hujan yang hampir reda, tapi hari sudah gelap
“Oh… kamu hanya teduh? Penyedia bahu? Atau halte?” tanyanya yang membuatku semakin sebal dan merasa bodoh.
“Sebut saja begitu” jawabku malas.
“Aku antar ke asrama” utasnya dan mengandeng tanganku menuju motor gedenya.
            Namanya Arjuna Abi Deantara, mahasiswa semester akhir jurusan teknik elektro. Dia sering ke laboratorium untuk menjalankan penelitian akhirnya dan juga menjalankan proyek pembuatan robot untuk lomba yang akan diikutinya di Jerman bersama timnya. Dia tahu semua hal tentang aku, aku yang biasanya bersama dengan Aldi, jurusanku, tingkat semesterku dan juga tinggalku di asrama. Hanya itu informasi yang aku dapatkan lewat dia sepanjang jalan menuju asrama. Dia tidak mengajakku bertukar nomor ponsel atau apalah yang akan membuat kita berteman. Setelah sampai asrama, dia langsung pergi tanpa pamit dan salam. Entahlah, aku harus lekas belajar, menyiapkan presentasi untuk besok dan juga membaca semua jurnal penelitian yang mendukung. Aku harus move on, menghapuskan nama Aldi di sepanjang memori hidupku.
            Setumpuk buku, sekotak susu dan sebuah pulpen kesayangan telah masuk kedalam tasku pagi ini. Seusai menunaikan shalat subuh beserta rentetan acara asrama hingga pukul 6. Aku bergegas mandi dan mulai bersemangat untuk memulai hari ini. Jumat, hari terakhir dalam perkuliahan, jam pertama kuhabiskan didalam kelas dengan 45 orang teman dan sisanya aku harus menuju ke laboratorium untuk praktikum. Hufh, ruang itu hampir menjadi momok bagiku, memaksaku untuk melukai hati sekali lagi atau memaksaku untuk memandang 2 orang romantis itu, payah.
            Beriringan dengan Desi, aku melangkah ke laboratorium. Terik matahari membakar jam 10 pagi ini. Bisikan-bisikan angin terdengar seperti “Inez, jangan kesana, Aldi sedang bersama cewek itu”. Argh…imajinasiku selalu berlebihan jika kondisi sedang buruk seperti ini. Aku menyedot susu kotak yang aku bawa dari asrama sambil melewati lorong panjang dan gelap menuju laboratorium. Tidak terlalu pengap sih jika pagi begini, mahasiswa pertanian dan teknik pasti berlalu lalang. Dan dia, Abi, Arjuna atau siapalah aku memanggilnya, dia menyalipku, memandang kearahku sekejap dan berlalu. Dia tertawa bersama 5 temannya, tawanya bagus, dan dia tipikal cowok yang mudah bergaul. Beda sekali dengan Aldi, dia jarang bersama-sama dengan temannya, bahkan dia jarang tertawa, jaim banget.
            Benar saja bisikan angin tadi dijalan menuju laboratorium ini, Aldi sedang mengolah data dan mengerjakan skripsinya ditemani oleh si cewek pengambil alih pekerjaanku itu. Sungguh manis sikap cewek itu, pantas saja selama 5 tahun ini Aldi rela menungguinya.
“Nez”
“Inez” panggil Desi agak keras
“Ini kertas pre-tesnya. Udah belajar kan?” ucap Desi saat aku telah menoleh ke arahnya dan menerima selembar kertas itu.
“Sudah kok” jawabku dan mulai menulis identitas.
“Bagus, aku nyontek saja” utasnya dan kubalas dengan acungan jempol.
            Ingin meledak rasanya dioven selama berjam-jam di laboratorium itu. Bukan oven sih, AC di laboratorium sangat memadai, tapi pemandangannya yang bikin suhu hatiku naik 80 derajat celcius. Pukul 15.00, aku sendiri lagi setelah Desi izin menemani pacarnya dulu untuk penelitian. Aku menyusuri lorong pengap dan terlalu panjang ini. Atapnya berlubang sehingga sinar matahari yang mulai lembut berhasil menembus kesela-selanya. Aku berhenti sejenak, mendongkakkan kepala keatas dan menghitung lubang-lubang disekitarku. Cahaya matahari itu memantul ke tembok sebelah kanan dan kiri, lorong ini jadi tidak terlalu gelap untuk gadis kesepian seperti diriku.
“Hey, gadis peneduh, ikut aku yuk” seru seseorang dari belakangku.
“Kemana?” jawabku setelah mengetahui itu Abi Arjuna.
Tanpa menjawab dia mengandengku ke arah parkiran, persis seperti senja pertemuan pertama kita. Aku yakin dia bukan orang jahat dan aku juga lagi butuh suasana lain untuk mengobati hatiku yang keruh. Aku naik ke jok belakangnya dan kita berlalu. Aku melihat dilantai 2, Aldi memperhatikanku, aku sekilas melihat ke arahnya dan lalu tak memandangnya lagi.
            Pelabuhan barat pukul 16.00 WIB, aku merasakan angin laut menerpa wajahku yang putih tanpa perawatan apapun. Wanita-wanita penjual kopi dan gorengan yang menaruh dagangannya dalam ember besar dikepala, kapal minyak yang berhenti ditengah laut, nelayan yang mulai menyandarkan kapalnya ke pinggiran sampai kapal very pengangkut penumpang yang mulai lepas landas. Aku menikmati suasana sore itu, aku dan Juna, begitulah dia menyuruhku memanggilnya Juna. Kami berteriak keras, kata Juna, itulah salah satu cara ampuh buat menghilangkan rasa sakit dihati. Dan benar saja, aku merasa agak tenang dan menghirup dalam-dalam udara yang terus saja kesana kemari merayuku.
            Juna datang tanpa aku undang dan dia tampak seperti malaikat saat aku sedang jatuh, rapuh dan kesepian. Dia tampan, manis, pintar, rapi dan juga dapat tertawa lepas. Porsi yang pas untuk menjadi seseorang yang spesial dihati siapapun, termasuk aku. Di pinggir pantai ini, kita memegang 2 gelas cup capucino dan menikmati langit yang semakin termakan oleh jingga.
“Aku sering memperhatikanmu sejak awal ketemu di lorong. Aku semester 3 saat itu. Bukumu jatuh dan aku mengambilkannya. Kamu tidak memandang ke arahku. Sejak itu, aku sering-sering berharap bertemu denganmu, hingga aku hafal jadwalmu ke laboratorium. Selebihnya berjalan seperti itu sampai aku semester 4. Di semester 5, aku menemui kamu sudah berjalan beriringan dengan seorang cowok. Aku pikir dia pacarmu dan aku mulai lega melihatmu tidak sendirian lagi. Hingga disemester 8 ini, aku melihatmu sendiri lagi. Nah, kamu bisa pikir sendiri selanjutnya” Begitulah ceritanya sore itu sebelum dia mengajakku untuk pulang.
Diatas motor itu dia mengantarkanku ke asrama. Ada degup-degup rindu dihatiku. Kenapa rindu ini hidup, saat dia berada bersamaku diatas motor itu. Motor gede itu berjalan tidak cepat, namun juga tidak terlalu pelan. Tidak, aku belum cinta, tapi hatiku berdetak keras saat memoriku mengulang-ulang lagi apa yang dia katakan pada kalimat panjangnya di akhir percakapan. Aku belum sayang tapi aku tersentak saat ingat parfum yang Juna pakai, itu selalu tercium olehku saat menyusuri lorong. Tidak, rindu ini tidak wajar, apalagi setelah aku berjanji akan membatasi diri menjadi seorang peneduh atau kanopi peneduh itu. Tapi Juna telah menjadi peneduhku akhir-akhir ini, kanopinya lebar hingga aku nyaman dihantam hujan dan badai yang sesak dan membuat paru-paru mengembang, meledak. Aku akan cinta, jika terbiasa.
Moment wisuda kakak tingkat, tepat dibulan September. Aku dengan seikat bunga mawar merah dan boneka wisuda atas namanya. Aku berseri, tersenyum dan dengan penuh kesadaran menunggunya dibawah pohon yang rindang. Hari ini terakhirnya dia berada di kampus, aku tak bisa melihat lagi wajah tampan saat terkena siluet senja itu, aku tak bisa menikmati tawanya yang bagus atau aku harus lekas lulus juga karena dia akan menungguku. Tampak dari kejauhan aku melihat Aldi, dia bersama kedua orangtuanya, ah..indah sekali.
“Inez, ini mama dan papaku” Utas Juna mengagetkan aku yang fokus melihat Aldi
Aku bergabung dengan keluarga Juna, seseorang yang hadir dihidupku seperti kanopi otomatis yang meneduhiku saat hujan turun atau terik yang menyengat. Lorong gelap, pelabuhan barat dan juga sepanjang jalan menuju asrama, semua nampak akan berat untuk aku kenang.
“Inez, dia pergi dengan yang lain. Hanya sebentar menemaniku” Utas Aldi saat Juna mengizinkanku menemui Aldi sebentar waktu itu. Wajah Juna tenang, tidak penuh curiga dan tetap masih tertawa bersama keluarganya.
“Lantas aku harus bagaimana Al untukmu?” Tanyaku dengan pandangan penuh kearahnya
“Kembalilah padaku Nez, menemani hari-hariku seperti dulu dan aku janji ga akan memikirkan dia lagi. Aku sadar, aku lebih menyayangimu daripada dia selama 5 tahun penantian ini. Ayo aku kenalkan kamu pada orangtuaku” Jawab Aldi panjang dengan wajah memohon dan terlihat dalam dia menyatakan itu.
Aku menunjuk ke arah Juna, “Dia Al, yang selalu ada saat aku rapuh diPHP kamu selama 2 tahun dan melihat ada orang lain mengambil alih posisiku denganmu. Aku sudah cinta sama dia Al. Maaf.” Utasku dan meninggalkan Aldi
            Jangan mengambil alih lagi hatiku, kamu sudah masuk dalam masa laluku, itu cukup. Semua telah tercatat sepaket dengan es krim itu, cokelat itu dan juga juga senyummu. Aku yang memberikan seluruh hatiku, bahkan aku tak bisa memandang siapapun kecuali kamu. Hingga kamu memilih menunggu, seseorang yang menemani sebentar, lalu hilang. Aku tak bisa kembali lagi membawa utuh hatiku. Hatiku memang kembali utuh, tapi seluruh ruangnya sudah bukan untuk kamu, didalamnya akan kamu temui seseorang yang mencintaiku secara sempuna. Dia tidak pernah membiarkanku berjalan dengan kebimbangan, dia memegang tanganku saat mataku kosong menatap remang-remang yang kau ciptakan.
            Kini aku ingin berlalu, bahkan lebih cepat dari gerak jarum-jarum jam itu. Dipersimpangan jalan sana, aku melihat Juna menunggu. Menyuarakan rindu-rindunya yang terbatasi oleh dinding ruangan 5 X 5 itu. Dia semakin tampan dengan jas dan dasi itu, aku melihatnya lewat layar ponselku. Dan aku, masih berusaha berlari kencang, bergelut dengan seluruh isi laboratorium. Laboratorium ini sekarang bersifat netral, bukan lagi tempat yang membuatku terlalu bahagia atau tempat yang membuatku begitu sakit. Tentang kabar Al, qku memilih untuk tidak tahu. Jingga di sore ini, aku selalu menikmati.

Komentar

Postingan Populer