Jombloku, Whatever(!)
Semua tampak berlalu begitu cepat bahkan dengan
memaki-maki masa lalu, aku tak pernah move on sedikitpun. Nyanyian burung
dipagi hari tak lagi aku nikmati sebagai nyanyian yang merdu, bintang di langit
yang katanya ingin dia ambilkan untukku, omong kosong, digengamanku tak ada
satupun bintang. Dan aku mulai realistis, mana mungkin dia bisa memetik satu
bintang untukku, manjat pohon aja takut. Seperti inilah aku selalu memakinya,
tapi rasa ini belum pudar sedikitpun. Sebulan yang lalu kita putus dan dia
bilang kalau jodoh kita pasti ketemu.
“Bodoh, tiap hari kita
ketemu kali, kita kan satu sekolahan,kamukan kakak kelasku, besok senin upacara
kita juga ketemu” Utasku dalam hati sambil meremas-remas kertas dengan geram.
“Fiska, kamu
kenapa?”Seru teman sebangkuku ketika melihat sikapku. Nah, dia ini adalah
temanku sejak SMP, namanya Dita. Kita selalu menjalani hari-hari bersama-sama.
Dia cantik dan terlihat sangat dewasa, 2 tingkat diatasku. Terkadang dia
membuatku iri, karena saat ini orang yang aku yakini bisa membuatku move on
malah menyukai dia. Namanya Rheno, cowok seangkatanku di jurusan IPS, dia
sangat cool, dan aku yakin, jika aku bersamanya, aku akan dengan mudah
melupakan kak Rendi.
Siang ini memberiku inspirasi untuk segera memoveonkan
diri dari zaman jahiliyah yang selalu menaungiku. Masa-masa mengumpat mantan
dan membalik 180 derajat kata-kata manis selama pacaran. Langkah pertama adalah
bersikap biasa saja denagn mantan, mungkin bisa dengan menyapanya dan
memastikan bahwa aku telah move on. Yang kedua, misiku adalah PDKT dengan Rheno
dan yang terakhir jadian.
“Kak!” Sapaku kepada
kak Rendi saat berpas-pasan sebagai langkah yang pertama.
“Iya dek, nah sudah
move on ya, makanya berani nyapa aku?” utasnya penuh ambisi kepo, aku yakin dia
menyesal putus dariku.
“Sudah dong” Jawabku
dan kemudian bergegas meninggalkannya. Aku rasa ini yang dinamakan trik tarik
ulur yang di katakan Dita, katanya untuk membuat orang kembali pada kita.
Intinya kita harus jual mahal.
Untuk move on sebenarnya aku hanya perlu duduk di pinggir
lapangan basket dan memandangi Rheno saat bermain. Kegantengannya bertambah 70%
saat dia berkeringat di lapangan, senyumnya tampak seperti kripik singkon cak
Paijo yang renyah dan bikin deg-degan. Kita sudah saling mengenal, dia pernah
menghubungiku untuk memeinta nomor telpon Dita, dan disitu aku merasa patah.
“Rheno, ini untukmu”
seruku meyodorkan air mineral kepada Rheno saat di telah usai bermain.
“Thanks ya, sendirian
aja?” Tanyanya, dan aku mulai merasa gerogi, pasalnya pertanyaan seperti itu
menunjukan bahwa dia care sama aku.
“Iya, mau sama siapa
lagi” Jawabku sedikit memancing pembicaraan dengannya, mungkin agar sedikit
lama.
“Emang Dita dimana?”
Tanyanya lagi. Pertanyaan ini kemudian menyambarku dan berkata kalau cinta jangan banyak teori. Please… jangan
gampang baper.
“Yaudah, aku ke kelas”
Utasku dan pergi meninggalkannya. Aku harap Rheno berpaling dari Dita dan akan
menyukaiku suatu saat nanti.
Aku berjalan penuh dengan kekalahan yang tak mungkin aku salahkan.
Kelas-kelas yang berjajaran terasa seperti pintu-pintu neraka yang tak bisa
kupilih untuk ku masuki. Dan sejak putus sebulan lalu, jam istirahat merupakan
jam panjang yang terpaksa harus kulalui terkadang dengan semangkuk bakso atau
hanya dengan sekotak susu cair. Satu-satunya tempat yang ingin kutuju adalah
perpustakaan, dulu kak Rendi sering mengajakku disana saat jam istirahat.
“Tek!” Suara retak
hatiku, ini merupakan retak luarbiasa sepanjang 17 tahun hidupku. Di sebuah kursi
baca, ada dua orang yang sangat aku kenali sedang bercanda dan membaca sebuah
buku berdua. Sesekali mereka foto selfi dengan bibir alay dan yang paling hoax,
mereka foto gaya membaca kamus yang super tebel 1 triliun halaman. Ku urungkan
niat untuk memasuki perpustakan dan kembali ke kelas.
“Jadi Dita dan Kak
Rendi sudah jadian? sebulan aku putus mereka PDKTan? Pantesan terkadang mereka
saling lempar pandang, aku kira kak Rendi memandangku, ternyata memandang Dita
yang selalu disebelahku, sekali lagi hatiku patah” Utasku dalam hati dengan
berjalan berjalan suntuk ke kelas.
“Hey Fiska!” Teriak
seseorang mengejarku dari belakang. Rheno? Kenapa dia mengejarku? Apa mungkin
dia mau memulai PDKT denganku karena tahu Dita sudah pacaran dengan Kak Rendi.
“Fiska, Dita dimana?
Aku mau menyatakan perasaanku dengannya” Utasnya yang membuatku gugup dan
akhiranya hancur lagi hatiku. Fix, aku menjomblo saja!
“Oh, dia di
perpustakaan” Jawabku dengan senyum kecut. Rheno pun langsung berlari kearah
perpus dengan membawa seikat bunga dan sebatang cokelat berbentuk love. Meski
aku yakin, dia bakalan ditolak, setidaknya biarkan cowok cool itu mencoba.
Dengan penuh realistis dan gak banyak teori, kahirnya aku
paham bahwa selama sebulan ini memang Dita dan Kak Rendi edang PDKT, dan aku
baru sadar kenapa Dita sering menanyakan tentang Kak Rendi. Bahkan dulu dia
pernah bertanya padaku tentang aku sudah move on apa belum, misalnya dia jadian
sama Kak Rendi , aku gimana? Dan yang mendukungnya untuk pacaran dengan Kak
Rendi mungkin karena jawabanku “Ambil saja!”. Dan mungkin juga mereka semakin
terang-terangan bersama saat tadi aku menyapa Kak Rendi dan mengatakan bahwa
aku sudah move on.” Uluh-uluh…. Jalan ceritaku Gusti kok begini-begini amat”
utasku dalam hati yang hangus berwarna hitam legam. Meski begitu, untuk saat
ini aku tak memiliki scenario cinta yang harus kujalankan. Scenario yang aku
buat sendiri tak pernah aku dapatkan alurnya, bahkan cenderung bertolak
belakang dengan naskah yang kutulis. Untuk sebuah hati, aku tak ingin
memaksakan lagi. Untuk mantan pacar, aku tak akan memaki-maki lagi, menganti
panggilan sayang dulu dengan monyet, menganti kata ganteng banget menjadi
jelong, tidak akan. Dan untuk Rheno yang gagal ber-PDKT denganku, gapapalah,
setidaknya aku belum jatuh terlalu dalam mencintaimu, dngan begitu aku gak
perlu susah payah untuk move on lagi. Dengan segala kerendahan hati aku
katakana “Fixs, aku menjomblo!”.
Komentar
Posting Komentar